Sejarah Sekolah Methodist
Tahun |
Peristiwa |
1976 |
Timbul pemikiran dari anggota majelis gereja untuk mendirikan sebuah sekolah. |
1977 |
Tepatnya pada tanggal 7 Januari, dibukalah TK Methodist yang berlokasi di Jl. Prof. Dr. Latumenten, Gg. Rahayu I No. 7. |
1978 |
Mengontrak sebuah gudang garam yang berlokasi di samping gereja untuk dijadikan ruang kelas. SD Methodist pertama kali dimulai di tahun ini. |
1979 |
Pemilik gudang garam memutuskan untuk menjual bangunan ini kepada pihak gereja. Kemudian gudang ini direnovasi untuk menambah ruang kelas, loteng, dan ruang pastori. |
1982 |
SMP Methodist pertama kali dimulai. |
1990 |
SMA Methodist pertama kali dimulai. |
1993 |
Pembelian sebidang tanah di Jl Terusan Bandengan Utara No. 91 AY. Setelah merayakan HUT GMI Imanuel ke - 25, maka dipindahkanlah TK PKMI ke Terusan Bandengan Utara. Gedung bekas gudang direnovasi untuk ruang kelas. |
1995 |
SD Methodist dipindahkan ke Terusan Bandengan Utara |
1996 |
SMP Methodist dipindahkan ke Terusan Bandengan Utara |
1997 |
SMA Methodist dipindahkan ke Terusan Bandengan Utara. Bimbingan mandarin mulai dibuka. |
1999 |
Bimbingan belajar dan TK mandarin mulai diadakan |
2002 |
Bimbingan bahasa Inggris mulai dibuka |
2004 |
Program Character Building dimulai. Kerjasama dengan STT Reformed Injili Indonesia (STTRII) untuk membantu pelayanan konseling di sekolah dengan mendatangkan konselor praktek dimulai |
2005 |
Methodist Music School mulai didirikan |
2006 |
Pelayanan Orang Tua Asuh dan Parenting Class mulai dilaksanakan |
2007 |
Kerjasama dengan Kemendiknas dan BKPBM (Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin) mendatangkan guru bantu bahasa Mandarin dari China |
2009-2010 |
Pengembangan sarana prasarana (perbaikan lantai, toilet, penggantian meja, kursi, pemasangan LCD dan CCTV di tiap ruang kelas) |
Tertanggal 7 Januari 2012, PKMI (Perguruan Kristen Methodist Indonesia) Imanuel atau Sekolah Methodist telah berkiprah dalam dunia pendidikan selama 35 tahun. Untuk dapat mencapai tahap seperti sekarang ini tidaklah mudah, mengingat berbagai kesulitan yang dihadapi pada awal pembentukannya. PKMI Imanuel tidak akan berdiri seperti hari ini tanpa perjuangan iman yang teguh dari sekelompok pengikut Tuhan yang peduli dengan keadaan pendidikan pada 35 tahun silam.
Latar belakang
Pada saat itu gereja Methodist yang masih dikenal dengan sebutan gereja Methodist Angke, banyak memiliki jemaat yang berasal dari luar daerah. Para jemaat luar daerah yang masih asing dengan situasi Jakarta, kesulitan dalam mencari sekolah untuk pendidikan anaknya. Dari sinilah kemudian timbul suatu pemikiran dari majelis untuk membantu mengatasi masalah pendidikan anak-anak anggota jemaat dengan mendirikan sekolah. Pemikiran ini juga didasarkan pada pokok tradisi gereja Methodist yang menganggap bahwa hubungan pemberitaan firman dengan pendidikan sangatlah erat. John Wesley berpandangan bahwa sekolah adalah salah satu bentuk pelayanan sosial gereja terhadap bangsa. Melalui institusi sekolah, anak-anak tidak hanya dibentuk sebagai manusia berilmu, namun juga sebagai manusia beriman.
Behind the Story
Dipelopori oleh Ibu Elvira Thamsir, Ibu Suwarni Gunawan, Ev. Li Ru Piao, Bapak CJ. Sihombing ( Ketua Majelis saat itu), Bapak Markus Paulus, dr. Hosea Kurniadi, Ibu Pdt. Edi Paulus, dan Bapak Rudy Tjandra, maka dibukalah sebuah kelas taman kanak-kanak yang berlokasi di Jl Prof. Dr. Latumenten Gg. Rahayu I No. 7, pada tgl. 7 Januari 1977. Pada awalnya, beberapa orang menyangsikan ide ini karena ketiadaan dana. Mereka bahkan tidak memiliki 1 sen pun untuk mewujudkan ide ini menjadi sebuah kenyataan, tampaknya sangat mustahil. Namun, ternyata keterbatasan dana tidak menghalangi iman mereka untuk menjalankan visi ini. Hingga kemudian Ibu Elvira Thamsir berinisiatif untuk menyekat ruang garasi gereja dengan triplek, sehingga dapat digunakan sebagai ruang kelas dan kantor guru. Sedangkan peralatan meja dan kursi kelas serta lemari disumbangkan oleh dr. Hosea Kurniadi yang saat itu memiliki usaha furniture. Para jemaat pun turut mendukung dengan menyumbangkan berbagai mainan anak yang mereka miliki, sehingga rintisan sekolah saat itu sudah memiliki sebuah taman bermain.
Saat itu tenaga pengajar yang tersedia sangatlah minim, sehingga Ibu Elvira Thamsir merangkap sebagai pengajar tunggal, kepala sekolah, dan juga bertugas mengantar jemput siswa. Suasana kelas pertama PKMI Imanuel itu sangatlah sederhana, terdiri atas 22 murid TK tanpa seragam sekolah yang resmi. Di kelas ini pun belum terdapat pembagian antara kelas TK besar dan TK kecil. Ke-22 murid yang ada belajar bersama dalam satu kelas walaupun beberapa dari antara mereka umurnya sudah lebih besar. Namun ketika proses mengajar, Ibu Elvira Thamsir membedakan materi pembelajaran untuk anak-anak yang memang umurnya sudah lebih besar. Selain itu, pada sore hari Beliau secara sukarela membuka kelas pengajaran bahasa Mandarin secara gratis untuk para murid yang berminat. Dengan beban yang sedemikian banyaknya, Beliau bekerja secara sukarela tanpa menuntut masalah gaji. “Saya masih ingat gaji pertama saya sebesar Rp. 28.000,00 yang merupakan hasil sumbangan dari para jemaat gereja,” tuturnya. Gaji tenaga pengajar pada waktu itu merupakan hasil patungan dari para jemaat gereja yang secara sukarela menyumbangkan uangnya setiap bulan.
Tuhan yang Menyediakan
Hanya dalam jangka waktu satu tahun, jumlah siswa meningkat dari 22 menjadi 64 siswa. Hal ini tidak terlepas dari inovasi yang dilakukan. Saat itu, Ibu Elvira Thamsir berpikir bahwa memberikan pelajaran bahasa asing tentu akan membuat sekolah menjadi menarik. Mulai dari TK, bahasa Inggris telah diajarkan. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dikarenakan jumlah murid bertambah, garasi tidak lagi dapat menampung murid. Akhirnya disewalah sebuah gudang garam yang berada tepat di sebelah gereja. Gudang garam tersebut disekat menjadi 4 ruangan dan dibuka pula kelas SD. Gudang garam tersebut disewa dengan perjanjian kontrak selama 3 tahun yang dibayar per bulan. Di sinilah terlihat penyertaan Tuhan, setelah satu tahun mengontrak, sang pemilik gudang garam bersedia menjual bangunan tersebut dengan setengah harga: Rp 10 juta (padahal harga normalnya adalah Rp 20 juta). Akhirnya, pada tahun 1979 gudang garam tersebut dibeli dan dibangun. Dana Rp 10 juta tersebut pun merupakan hasil sumbangan dan pinjaman dari para jemaat. Banyak jemaat yang meminjamkan simpanan, dolar, dan emasnya untuk membeli gudang garam tersebut. Proses pembangunan pun dibantu oleh para jemaat gereja. Salah seorang jemaat tersebut adalah Bapak Ahmadi Wijaya, suami dari Sulani Kurniadi yang turut mengerjakan pembangunan loteng gudang garam selama satu setengah bulan. Beberapa saat kemudian, sekolah pun mulai menetapkan seragam sesuai Peraturan Pemerintah. Izin operasional diajukan secara resmi pada tahun 1979 ke kecamatan dan kurikulum yang digunakan mengikuti peraturan dinas pendidikan.
Untuk mengelolanya, maka pada tanggal 11 mei 1979 pun dibentuk Yayasan Imanuel (Badan Pengurus Sekolah) yang didaftarkan di notaris dengan Akta No 51, dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : Rudi Tjandra
Wakil Ketua : Ibu Elvira Thamsir
Sekretaris : dr. Hosea Kurniadi
Bendahara : Ahmadi Widjaja
Anggota : P.J. Judith
Tahun |
Ketua Majelis |
Ketua Yayasan/BPS * |
1979-1980 |
C.J. Sihombing (alm.) |
Rudi Tjandra |
1981-1982 |
C. J. Sihombing (alm.) |
Matius Antonius |
1983-1985 |
dr. Hosea Kurniadi |
C. J. Sihombing (alm.) |
Keterangan : * Tahun 1979-1985 yang menjadi Yayasan Sekolah Methodist adalah Badan Pengurus Sekolah (BPS). BPS inilah yang mengurus sekolah.
Tahun |
Ketua Majelis/Yayasan* |
Ketua Komisi Penyantun Pendidikan (KPP) |
1985-1990 |
dr. Hosea Kurniadi |
Markus |
1991-1992 |
Matius |
dr. Hosea Kurniadi |
1993-1996 |
dr. Hosea Kurniadi |
Arifin Widjaja |
1997-1998 |
dr. Hosea Kurniadi |
Sugiarto Lidya |
1999-2002 |
Freddie Chandra |
Arifin Widjaja |
2003-2006 |
Freddie Chandra |
Ermin Pen |
2007-2010 |
Ermin Pen |
Freddie Chandra |
2011- sekarang |
Natan Agustam S. |
Widya Yauwan |
Keterangan : * Sejak tahun 1987 – sekarang yang menjadi Yayasan Sekolah Methodist adalah para pengurus Majelis Gereja Methodist Indonesia jemaat Imanuel. Komisi Penyantun Pendidikan adalah bagian dari Yayasan yang mengurus sekolah
Ajaib benar, tanpa iklan dan promosi, jumlah siswa bertambah terus dari tahun ke tahun, hingga tahun 1990 telah dibuka TK, SD, SMP, dan SMA. Siswa SD telah mencapai 300 orang. Sekolah terasa penuh sesak. Melihat kondisi tersebut, para majelis melihat diperlukannya sebuah tempat baru untuk mengakomodasi Kegiatan Belajar Mengajar. Akhirnya dibelilah sebuah tanah yang berlokasi di Jl. Terusan Bandengan Utara no. 91 AY, tempat kita berada sekarang. Pembelian tanah ini pun bukan perkara mudah. Sekali lagi terlihat kesehatian jemaat gereja dalam proses ini, banyak jemaat yang memberikan sumbangan serta pinjaman untuk membeli tanah ini. Tuhan pun bekerja secara menakjubkan; entah mengapa dan bagaimana, pemilik tanah bersedia menjual tanahnya dengan setengah harga. Selain itu, bank pun bersedia memberikan kredit tanpa agunan.
Akhirnya, secara bertahap dilakukan pemindahan Kegiatan Belajar Mengajar dari Latumenten menuju Bandengan. Dalam proses pindah lokasi ini, tidak semua siswa ikut pindah ke Bandengan. Siswa di Latumenten saat itu kebanyakan berdomisili di daerah Jembatan Besi, Jembatan Lima, dan Kampung Bebek; sehingga tidak semua dapat pindah karena faktor jarak tempuh. Namun pada tahun-tahun berikutnya jumlah siswa terus meningkat kembali. Dimulai tahun 1992, TK pindah ke Bandengan; hingga akhirnya pada tahun 1997, semua tingkatan dari TK hingga SMA telah pindah ke Bandengan.
Harapan
Beberapa jemaat yang terlibat dalam proses awal pembangunan PKMI memiliki harapan-harapan bagi kita, generasi muda. Mereka berharap bahwa sekolah akan terus menerangi masyarakat Indonesia, terus berkembang, dan maju terus; berharap supaya kita dapat meneruskan tongkat estafet perjuangan mereka. Mereka sangat bahagia melihat alumni yang berkarakter baik, juga ada yang kembali mengabdi sebagai kepala sekolah, guru dan staf. Mereka berharap supaya sekolah Methodist dapat terus menjalankan visi dan misinya untuk mencetak generasi muda yang beriman dan berilmu. Tentu saja satu harapan mereka yang paling berharga, supaya para siswa dapat mengenal Tuhan melalui sekolah ini.
Dari sejarah sekolah Methodist, kita dapat melihat penyertaan dan pemeliharaan Tuhan, menikmati dan mensyukuri kesehatian jemaat saat itu, juga belajar dari iman mereka yang bersandar penuh kepada Tuhan.